Coffee Break

Phil Jackson (NBA head coach with 10 championship rings) said "If you think practice is boring, try sitting on the bench. For every dream there is a sacrifice."

"Winning is about thinking one step ahead"

"Kemerdekaan sejati lahir dari keberanian mengikuti kata hati"

Wednesday, October 15, 2008

ABG = Ah, Bukan (Urusan) Gue

Olahraga, turisme, dan budaya adalah trisula sumber pemasukan negara nonmigas. Paling tidak itulah kesimpulan jika Anda menyempatkan membaca buku The Sport Studies Reader, yang diedit Alan Tomlison. Dalam buku itu, peneliti-peneliti olahraga kelas dunia memaparkan riset mereka yang menegaskan bahwa pembangunan olahraga secara benar akan berkorelasi positif dengan kemajuan olahraga sebuah negara, peningkatan turisme, dan pengembangan budaya.

Di Asia, Cina sudah melaju cepat dan sukses membuktikan hipotesis itu. Lebih mengerucut, tiga negara di Asia Tenggara tengah bertempur agar bisa panen uang dari trisula OTB (olahraga-turisme-budaya). Tiga negara yang saya maksud adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Mereka sudah berpikir sangat maju.

Bangkok yang macet adalah masa lalu. Mereka sadar bahwa pariwisata akan maju jika transportasi publik memuaskan. Sekarang Bangkok dan kota-kota satelitnya memiliki sarana transportasi publik yang kian membaik. Laju pemasukan dari sektor pariwisata pun meningkat.

Sementara itu, saya kehabisan kata-kata untuk menggambarkan betapa bagus transportasi publik di Kuala Lumpur dan Singapura. Saat pergelaran F1 Night Race di Singapura dua pekan lalu, betapa para kru tim-tim F1 yang keluyuran naik MRT memuji sarana transportasi umum di Singapura.

"Citra sebuah kota dilambangkan dengan kemampuan menggelar event olahraga internasional sebab otomatis turisme dan budaya akan ikut di sebuah pergelaran pesta olahraga internasional," kata David Whitson dan Donald Macintosh dalam jurnal penelitian bertajuk The Global Circus: International Sport, Tourism, and The Marketing of Cities.

Jadi, berbahagialah pemilik kota Beijing, Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok, yang pernah menggelar event olahraga internasional. "Mereka bisa membuat komoditas yang dijadikan tontonan dan laris dibeli orang," kata Guy Debord, yang menulis topik The Commodity as Spectacle.

Proyek Prestise?
Di depan mata, di Tanah Air, ada event internasional Asian Beach Games (ABG), pesta olahraga pantai Asia pertama. Sebagai pergelaran pertama, semestinya didukung sebab kalau sukses kan Indonesia juga yang dapat nama. Kalau buruk, kita juga yang dapat malu.

Namun, masalahnya urat malu itu tambah hari kian menjauh dari budaya bangsa Indonesia, yang katanya adiluhung itu. Semua bergerak demi kepentingan sendiri. Terus terang, saya tak yakin tak ada kepentingan pribadi di balik pergelaran ABG itu.

Pemilihan Bali sebagai tuan rumah adalah pencitraan yang positif dan tepat. Masalahnya menggelar ajang multicabang itu tak sekadar menyulap pantai menjadi arena pertandingan lho, tapi juga pembangunan infrastruktur.

Setelah membangun infrastruktur, sosialisasi perlu dilakukan agar masyarakat peduli. Tahukah Anda saat pergelaran F1 Night Race sebuah koran komplet yang berisi segalanya tentang balapan F1 dibagikan gratis kepada siapa pun yang ada di Singapura!

Bagaimana dengan ABG? Apakah daerah-daerah yang memiliki potensi pantai tak kalah indah dengan Bali akan antusias menyambutnya? Rasanya kok tidak. Masyarakat pun rasanya juga tak akan terlalu antusias menyambut ABG.

Di berbagai kesempatan, budaya instan benar-benar sudah merasuki kita. Untuk event ABG, yang masih asing, usaha pengenalan kepada masyarakat terbilang kurang. Yang lebih menyedihkan, last minutes event itu masih kekurangan dana. Proyeksi bisnis ABG ketika Indonesia menerima mandat sebagai tuan rumah pada 2005 seusai pertemuan Guangzhou ternyata tak canggih!

"Sponsor itu sama seperti atlet. Mereka perlu latihan yang benar, nutrisi memadai, fasilitas latihan, dan juga proyeksi kekuatan lawan. Jadi, agar sponsor meminati dan berkenan datang, harus ada keseriusan dan perencanaan matang untuk memuaskan sponsor potensial," demikian kesimpulan Lisa Delphy, Ph.D. dalam artikelnya Sport Tourism and Corporate Sponsorship: A Winning Combination.

Jadi, mau dikemanakan ABG? Karena sudah telanjur bersedia menjadi tuan rumah, biarkanlah tamu menikmati hidangan yang disiapkan. Yang terpenting lagi, sanggupkah pariwisata dan budaya Bali menghasilkan Rp 300 miliar untuk sekadar break event point (BEP)? Jangan-jangan jawabannya juga ABG, ah, bukan (urusan) gue....

No comments: